Bab II
Landasan Teori
A. Kesadaran hukum
Kesadaran hukum
merupakan suatu keyakinan yang ditimbul dalam diri individu maupun masyarakat
sehingga individu maupun masyarakat tersebut menaati aturan-aturan yang telah
dibuat. Kesadaran hukum tidak terlepas dari nilai moral yang hidup dalam masyarakat.
Jika individu maupun masyarakat tersebut memiliki nilai moral yang baik, maka
kesadaran hukum individu maupun masyarakat itu akan terbangun dengan baik.
Pembentukan kesadaran hukum bagi individu maupun masyarakat, harus dilakukan
sejak dini agar supaya kesadaran hukum itu tertanam didalam diri setiap
individu maupun masyarakat tersebut.
Di dalam ilmu
hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum. Di antara
sekian banyaknya pendapat, terdapat suatu rumusan yang menyatakan, bahwa sumber
satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah kesadaran hukum masyarakat.
Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum
dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum
individu, merupakan pangkal daripada kesadaran hukum masyarakat.[1]
Perubahan
besar-besaran terjadi atas struktur sosial dan sistem sosial bangsa ini suatu
perubahan fundamental yang mencabut sampai akar-akarnya struktur dan sistem
kolonialisme di Indonesia.[2]
Perubahan ini merupakan perwujudan dalam hal memperbaiki sistem hukum di
Indonesia untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diatur oleh
undang-undang tersebut.
Dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang
nasional tahun 2005-2025, menetapkan arah pembangunan materi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum yang salah satunya adalah peningkatan perwujudan
masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan
lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat,
dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam berbagai proses
pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap anggota
masyarakat manyadari dan manghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Akibatnya akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa
memiliki dan taat hukum.[3]
Menurut Soerjono
Soekanto untuk mengetahui kesadaran hukum masyarakat di dalam proses perubahan
yang menjadi ciri dari pembangunan, dengan demikian maka pokok-pokok yang harus
diteliti adalah :
1. Proses
hukum, yaitu bagaimana masyarakat bertindak di dalam kehidupan hukum dengan
mengambil tindakan-tindakan hukum yang banyak dilakukan sebagai patokan
2. Alasan
dan latar belakang proses hukum tersebut
3. Apakah
proses hukum tersebut selaras atau tidak sesuai dengan peraturan-peraturan
tertulis yang berlaku
4. Mengapa
terdapat keselaran atau bahkan ketidaksesuaian antara proses hukum dengan
peraturan-peraturan tertulis yang berlaku[4]
Mempertanyakan
kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek penegakan
hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang kesadaran
dan kepatuhan hukum di tahun di tahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas
akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi
hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen dalam
komunikasi/hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan berpolitik.
Sejak awal tidak ada kesepakatan yang jelas tentang konsepsi kesadaran hukum.
Juga dipertanyakan apakah kesadaran hukum sama dengan perasaan hukum. J.J. Von
Schmid memberikan ulasan tentang perasaan hukum, yaitu bahwa penelitian hukum
yang timbul secara serta merta dari masyarakat. Sedangkan kesadaran hukum lebih
banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut,
yang telah dilakukannya melalui penafsiran secara ilmiah. Paul Scholten
menyebutkan kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat
di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan
ada, sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan
bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian yang konkrit dalam masyarakat
yang bersangkutan. Munculnya kesadaran hukum didorong oleh sejauh mana
kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh : indoctrination, habituation,
utility, dan group indentification. Proses itu terjadi melalui internalisasi
dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan
motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum. Soerjono
Soekanto menyatakan terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing
merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu : pengetahuan hukum,
pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor hukumnya sendiri (UU), faktor
penegakan hukum, faktor sarana/fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat,
dan faktor kebudayaan.[5]
Masalah yang
timbul kemudian berkaitan dengan bekerjanya hukum itu adalah pertanyaan
mengenai apakah hukum yang dijalankan di dalam masyarakat itu benar-benar
mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan hukum tersebut.
Pertanyaan demikian, purbacaraka membedakan tiga hal tentang berlakunya hukum,
yaitu hukum berlaku neraca filosofis, secara yuridis dan sosiologis. Berlaku
secara filosofis, bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, yakni
sebagai nilai positif yang tertinggi. Sedangkan hukum berlaku secara yuridis,
terdapat anggapan, bahwa apabila penetuannya didasarkan pada kaidah yang lebih
tinggi tingkatannya (Hans Kelsen). Atau terbentuk menurut cara yang ditetapkan
(W.Zevenbergen). Bagi studi hukum dalam masyarakat, maka yang terpenting adalah
hal berlakunya hukum secara sosiologis (efektivitas hukum). Studi efektivitas
hukum adalah suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan
masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan realitas hukum dengan
ideal hukum, yaitu terdapat jenjang antara hukum dalam tindakan ( law in
action) dengan hukum dalam teori ( law in teory). Roscoe Pound membuat
perbedaan yang kemudian menjadi sangat terkenal di dalam ilmu hukum, yaitu
antara law in the books dan law in actions. Pembedaan ini mencakup
persoalan-persoalan antara lain, apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki
oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya.
Studi efektivitas hukum, adalah menelaah apakah hukum itu berlaku, dan untuk
mengetahui berlakunya hukum tersebut, Black
menganjurkan agar membandingkan antara ideal hukum, yakni kaidah yang
dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim, dengan realitas hukum.
Soerjono Soekanto berkaitan dengan realiatas hukum im menyatakan bahwa apabila
seseorang mengatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak atau perilaku tertentu, sehingga sesuai dengan tujuannya atau
tidak. Kepatuhan seseorang terhadap hukum seringkali dikaitkan dengan
persoalan-persoalan di seputar kesadaran hukum seseorang tersebut. Dengan lain
perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu
benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo
memberikann pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran masyarakat untuk
menerima dan menjalankan hukum sesuai dengan ratio pembentukannya. Mertokusumo
memberikan pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran tentang apa yang
seyogyanya dilakukan atau perbuat atau seyogyanya tidak dilakukan atau perbuat
terutama terhadap orang lain. Kesadaran hukum seringkali juga dikaitkan dengan
efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah
ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat.
Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum
terdapat suatu hipotesis, yaitu kesadaran hukum yang tinggi menimbulkan
ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah mengakibatkan
timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.[6]
B. Pengertian Remaja
Remaja berasal
dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup
kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Pada masa ini sebenarnya tidak
mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi juga
golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon ( dalam Monk, dkk
1994) bahwa masa remaja menunjukkan jelas sifat transisi atau peralihan karena
remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak memiliki lagi status anak.
Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak
dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk
memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21
tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pengertian remaja
menurut Zakiah Darajat adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan
dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan
fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Hal senada juga diungkapkan oleh
Santrock bahwa adolensence diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara
masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan
sosial emosional.[7]
Menurut Papalia
dan Olds masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 tahun atau 13 tahun dan
berakhir pada usia belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Menurut Adams dan Gullota masa remaja meliputi usia
antara 11 hingga 20 tahun. Ciri masa remaja terjadi beberapa perubahan
diantaranya :
1. Peningkatan
emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai
masa storm dan stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan
fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial,
peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru
yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan
yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi
bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab.
2. Perubahan
yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang
perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka
sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal
seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan
eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat
berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3. Perubahan
dalam hal yang menarik bagi diriya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan
dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya
tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk
dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting.
Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi
berhubungan dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan
lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4. Perubahan
nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi
kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5. Kebanyakan
remaja bersikap ambivalen dalam mengahadapi perubahan yang terjadi. Di satu
sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan
tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan
mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.[8]
C. Pengertian Helm standar nasional
Indonesia
Helm adalah sesuatu yang digunakan di
kepala oleh pengendara kenderaan roda dua (sepeda motor) untuk melindungi
kepala dari benturan keras, benda tajam maupun benda tumpul yang dapat merusak
organ kepala. Penggunaan helm merupakan suatu perangkat kenderaan sepeda motor
yang wajib di gunakan ketika mengendarai sepeda motor. Karena dengan
menggunakan helm, maka pengendara kenderaan roda dua (sepeda motor) dapat
terlindungi bagian kepalanya dari segala benturan yang terjadi ketika sedang
mengendarai sepeda motor. Dalam ketentuan pasal 57 Undang-Undang Nomor 22 tahun
2009 tentang Lalu intas dan angkutan jalan di jelaskan bahwa dalam ayat 1 dan
ayat 2 berbunyi sebagai berikut :
1.
Setiap
Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan
perlengkapan Kendaraan Bermotor.
2.
Perlengkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar
nasional Indonesia.[9]
Dalam
bahasa Belanda helm di kenal juga dengan helm yang mempunyai pengertian adalah
bentuk perlindungan tubuh yang dikenakan di kepala dan biasanya dibuat dari
metal atau bahan keras lainnya seperti kevlar, serat resin, atau plastik. Helm
biasanya digunakan sebagai perlindungan kepala untuk berbagai aktivitas
pertempuran (militer), atau aktivitas sipil seperti olahraga, pertambangan,
atau berkendara. Helm dapat memberi perlindungan tambahan pada sebagian dari
kepala ( bergantung pada strukturnya) dari benda jatuh atau berkecepatan
tinggi. Dibeberapa negara, helm wajib digunakan bagi pengendara sepeda motor,
bahkan ada yang mewajibkannya bagi pengendara sepeda tak bermotor. Di Inggris
hanya penganut Sikh yang diperbolehkan tidak memakai helm karena harus memakai
turban. Ada beberapa jenis-jenis dari helm diantaranya sebagai berikut :
1.
Helm
perang
Pada
awalnya helm digunakan sebagai bagian dari baju zirah peradaban Yunani kuno,
Romawi klasik, sepanjang Zaman pertengahan, sampai akhir abad 17 menyaksikan
penggunaan helm secara luas di sepanjang Eropa sampai Jepang. Bisa dikatakan
tidak ada penggunaan lain helm selain keperluan perang. Helm melindungi kepala
dari tebasan senjata lawan, datangnya panah, atau bahkan peluru berkecepatan
rendah ( dari senapan awal seperti arquebus). Penggunaan helm menurun sejak
1670 ketika efisiensi dan kecepatan peluru senapan meningkat pesat. Pada abad
18 sama sekali tak ada infantri yang menggunakannya lagi. Era Napoleon menjadi
pengukuhan penggunaan helm bagi prajurit kavaleri. Penggunaan artileri beratdi
perang dunia I menunjukkan perlunya menggunakan helm bagi prajurit biasa untuk
mengurangi korban karena serpihan bom atau schrapnel. Pada perang dunia ke II
dan saat inipun demi keperluan yang sama helm masih menjadi perlengkapan
standar bagi prajurit.
2.
Helm
sepeda motor
Helm yang digunakan untuk melindungi
kepala bila terjadi kecelakaan lalu lintas pada para pengguna sepeda motor,
pertama kali dicetuskan untuk diwajibkan untuk digunakan di Indonesia oleh
kepala kepolisian RI Hoegeng, tetapi mendapat penolakan yang keras pada waktu
itu, kemudian ditetapkan secara resmi di dalam undang-undang nomor 14 tahun
1992. Helm motor dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu, helm
seperuh kepala (half face), tiga perempat (open face) dan penuh (full face).
Helm yang memberikan perlindungan yang paling baik adalah helm penuh karena
seluruh kepala dilindungi dari benturan.
3.
Helm
sepeda
Helm sepeda adalah helm yang digunakan
oleh pengguna sepeda, didesain berbeda dari helm sepeda motor karena kecepatan
sepeda hanya sekitar 15 km/jam. Walaupun di Indonesia belum diwajibkan untuk
menggunakan helm sepeda tetapi sudah banyak digunakan oleh masyarakat dalam
kegiatan bersepeda santai dihari libur, tetapi pada olahraga balapan sepeda
atau kejuaraan sepeda gunung helm sudah diwajibkan.
4.
Helm
proyek
Helm proyek adalah helm yang direncanakan
untuk melindungi jatuhan material pada proyek pembangunan rumah, gedung ataupun
juga digunakan di daerah pertambangan.
Inti
mekanisme perlindungan helm adalah penyerapan energi momentum yang diterima
keseluruh bagian helm. Oleh karenanya meski terdapat berbagai bentuk helm dan
strukturnya mempertimbangkan kemampuannya menyerap energi tabrakan. Ukuran dan
beratnya juga merupakan pertimbangan lain sebab ukuran yang lebih besar juga
meningkatkan risiko terhadap pengguna. Selain itu pula helm juga memiliki
beberapa lapisan yakni :
1.
Lapisan
luar yang keras (hard outer shell)
Didesain untuk dapat pecah jika
mengalami benturan untuk mengurangi dampak tekanan sebelum sampai ke kepala.
Lapisan ini biasanya terbuat dari bahan polycarbonate
2.
Lapisan
dalam yang tebal (inside shell or liner)
Di sebelah dalam dari lapisan luar adalah
lapisan yang sama pentingnya untuk dampak pelapis penyangga. Biasanya dibuat
dari bahan-bahan polystyrene(stryrofoam). Lapisan tebal ini memberikan bantalan
yang berfungsi menahan goncangan sewaktu helm terbentur benda keras sementara
kepala masih bergerak sewaktu ada tabrakan yang membenturkan bagian kepala
dengan benda keras, lapisan keras luar dan lapisan dalam helm menyebarkan tekanan
keseluruh helm. Helm tersebut mencegah adanya benturan yang dapat mematahkan
tengkorak. Benturan yang kuat memberi kemungkinan terhadap pecahnya helm dan
membuat lapisan dalam rusak. Proses ini memberikan waktu ekstra, reduksi
tekanan dan jarak kepada kepala/otak untuk lebih teredam. Ketika lapisan dalam
terkoyak, dapat memberikan hambatan yang cukup terhadap menghambat kepala/otak
dengan berhenti secara lebih perlahan/lembut, dibanding proses benturan keras
yang terjadi terhadap kepala/otak tanpa menggunakan helm.
3.
Lapisan
dalam yang lunak (comfort padding)
Merupakan bagian dalam yang terdiri dari
bahan lunak dan kain untuk menempatkan kepala secara pas dan tepat pada rongga
helm. Bagian terpenting lainnya dalam helm adalah tali pengikat helm. Helm
tidak akan berfungsi dengan baik kalau tidak dilengkapi atau tidak mengikatkan
tali pengikatnya.[10]
Bab
III
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan
data merupakan hal penting dalam mengumpulkan bahan materi penulisan penelitian
ini. Dalam penulisan penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah
sebagai berikut.
A. Tipe penelitian
Tipe
penelitian yang dipakai dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum
yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris penelitian yang mengacu kepada
kenyataan hukum dalam pelaksanaan penggunaan helm bagi masyarakat khususnya
remaja pada hari sabtu dan minggu sebagai objek penelitian. Penulisan
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu melalui penelitian terhadap
kesadaran hukum remaja terkait kurangnya remaja yang menggunakan helm standar
nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu.
B.
Sifat
penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam
penulisan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis,
merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan
yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data
seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang
bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum.[11] Dalam
penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan menguraikan hal-hal tentang tingkat
kesadaran hukum masyarakat khususnya remaja.
C. Data penelitian
Data
penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini terdiri atas:
1.
Data sekunder
a.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundan-undangan yang terkait
dengan penelitian ini (undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan
angkutan jalan)
b.
Bahan hukum sekunder
Yaitu
buku-buku, maupun tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan penelitian ini
c.
Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier, yaitu berupa
petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder
yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, suarat kabar dan sebagainya.
2.
Data primer
Data primer yaitu berupa data hasil
wawancara dengan kepala satlantas Polres Gorontalo dan dengan remaja di
kabupaten Gorontalo.
D. Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian tempat peneliti melakukan penelitian yakni di Polres Gorontalo
kabupaten Gorontalo dan di SMA negeri 2 Limboto Kabupaten Gorontalo. Lokasi ini
di ambil karena mudah dijangkau dan mempermudah peneliti mengambil data.
E. Teknik pengumpulan data
Metode yang dilakukan dalam
pengumpulan data untuk penelitian ini adalah dengan cara :
1.
Cara pengumpulan data sekunder untuk
pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research), studi dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada,
yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan
ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan
dengan penelitian ini, yaitu dengan mencari, mempelajari dan mencatat serta
menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.
2.
Pengumpulan data primer dilakukan
melalui wawancara. Wawancara yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan
mengajukan pertanyaan langsung kepada informan, yaitu orang yang ahli atau
berwenang dengan masalah tersebut.[12]
Adapun informan yang akan diwawancarai oleh peneliti adalah kepala dan staf
satlantas Polres Gorontalo dan dengan remaja itu sendiri sebagai pelaku dari
kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat khususnya remaja. Oleh karena itu,
peneliti menyusun pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara sehingga
objek permasalahan dapat terungkap melalui jawaban informan secara terbuka dan
terarah, dan hasil wawancara langsung ditulis oleh peneliti.
F. Teknik analisis data
Berdasarkan sifat penelitian yang
menggunakan deskriptif analitis, maka analisis data yang dipergunakan adalah
analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data sekunder dan data primer.
Deskriptif itu, meliputi isi dan makna kesadaran hukum dalam masyarakat
khususnya kesadaran hukum remaja.
Bab
IV
Pembahasan
A. Kesadaran hukum masyarakat
khususnya remaja terhadap penggunaan helm standar nasional Indonesia di hari
Sabtu dan Minggu
Ide tentang kesadaran warga-warga
masyarakat sebagai dasar sahnya hukum posistif tertulis ditemukan dalam
ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewutszijn yang intinya adalah,
bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar
kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan salah satu aspek dari kesadaran
hukum, aspek lainnya adalah bahwa keadaran hukum seringkali dikaitkan dengan
penaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Masalah kesadaran
hukum, termasuk pula di dalam ruang lingkup persoalan hukum dan nilai-nilai
sosial. Apabila ditinjau dari teori-teori modern tentang hukum dan pendapat
para ahli hukum tentang sifat mengikat dari hukum, timbul bermacam
permasalahan. Salah satu persoalan yang timbul, adalah tentang dasar keabsahan hukum
tertulis, serta kenyataan daripada dipatuhinya hukum tersebut. Terdapat suatu
pendapat yang menyatakan bahwa
mengikatnya hukum terutama tergantung pada keyakinan seseorang.[13]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
masyarakat mematuhi hukum yakni sebagai berikut :
1.
Compliance diartikan sebagai suatu
kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindarka diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila
seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan
pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih
didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya,
kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan
kaidah-kaidah hukum tersebut.
2.
Identification, terjadi bila kepatuhan
terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intriksinya, akan tetapi agar
keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang
diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk
patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut,
sehingga kepatuhan pun tergantung pada buruk-baiknya interaksi tadi. Walauupun
seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi
terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif
terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha
untuk mengatasi perasaan-perasaan kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu,
dengan jalan menguasai objek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi.
3.
Internalization pada tahap ini seseorang
mematuhi kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi
mempunyai imbalan. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang
tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah bersangkutan, terlepas dari pengaruh
atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun
pengawasannya.
4.
Kepentingan-kepentingan pada warga
masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada ( Soerjono Soekanto)[14].
Dilain
pihak dapat tidaknya aturan yang telah dibuat dapat ditegakkan menurut Soerjono
Soekanto ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yakni sebagai
berikut :
1.
Faktor hukumnya sendiri (termasuk
Undang-undang)
2.
Faktor penegak hukum
3.
Faktor sarana dan fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
4.
Faktor masyarakat, yakni masyarakat
dimana hukum tersebut diterapkan
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagaihasil
karya, cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.[15]
Sedangkan
menurut L.W. Friedman beliau mengatakan bahwa pembangunan hukum meliputi tiga
komponen utama, yakni materi (substansi), kelembagaan (struktur), dan budaya
(kultur) hukum.[16]
Menurut
Baharuddin Lopa ada tiga komponen utama untuk dimungkinkannya ditegakkannya
hukum dan keadilan dimasyarakat yakni sebagai berikut :
1.
Diperluannya adanya peraturan hukum yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat
2.
Adanya aparatur penegak hukum yang
profesional dan memiliki integritas moral yang terpuji (faktor keteladanan)
3.
Adanya kesadaran hukum masyarakat yang
memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.[17]
Melihat
kenyataan di kehidupan sehari-hari khususnya di kabupaten Gorontalo, masih
banyak terdapat masyarakat khususnya remaja yang tidak mematuhi aturan dalam
hal menggunakan helm standar nasional Indonesia disaat berkendera terutama pada
hari Sabtu dan Minggu. Ini disebabkan kurangnya kesadaran hukum remaja,
sehingga banyak remaja yang tidak patuh terhadap aturan-aturan hukum khususnya
penggunaan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan kepala unit patroli satuan
lalu lintas polres Gorontalo Inspektur Polisi Dua( IPDA) A.W Tambipi, beliau
mengatakan bahwa penegakan hukum maupun penerapan hukum lalulintas khususnya
penggunaan helm standar nasional Indonesia telah dilakukan dengan maksimal oleh
pihak kepolisian, hanya saja kesadaran hukum remaja itu sendiri yang masih
kurang sehingga banyak remaja yang tidak taat aturan, terutama banyak remaja
yang tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan
Minggu.
Beliau
juga mengatakan bahwa kebanyakan remaja saat ini mau menaati aturan jika ada
petugas kepolisian yang berjaga di jalan raya. Permasalahan yang muncul
kemudian apakah petugas kepolisian harus berjaga 24 jam di jalan agar remaja
taat terhadap aturan? Tentu tidak. Yang diperlukan saat ini hanyalah kesadaran
hukum remaja tersebut harus terus ditingkatkan, itu dimulai dari dalam diri
individu itu sendiri. Pihak kepolisian hanya berupaya melakukan tugasnya dalam
menegakkan aturan, karena aturan ini dibuat untuk diataati oleh semua pihak
Apabila
indikator-indikator dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran
hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga
masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat keasadaran hukumnya
rendah, maka derajat ketaatan hukum juga rendah. Dapat ditarik kesimpulan
bahwanya kesadaran hukum remaja terhadap penggunaan helm standar nasional
Indonesia pada hari Sabtu dan Minggu masih sangat jauh dari harapan. Remaja
saat ini menaati aturan jika ada petugas kepolisian yang berjaga dijalan. Jika
tidak ada petugas kepolisian maka remaja tidak akan menaati aturan lalulintas.
Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan secara terus-menerus, jika dibiarkan
ini akan membudaya dan menjadi kebiasaan buruk remaja yang akan terbawa ke masa
yang akan datang. Tentunya dengan menciptakan kesadaran hukum masyarakat maka
akan tercipta hukum yang baik guna menjadikan negara Indonesia negara hukum
yang seutuhnya tidak hanya hukum didalam buku( law in book) tetapi hukum dalam tindakan (law in action).
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesadaran hukum remaja terkait kurangnya remaja yang menggunakan helm standar
nasiona Indonesia di hari Sabtu dan Minggu
Menurut Soerjono
Soekanto terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan
suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu :
1.
Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan
seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah
tentu bahwa hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun
perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum tersebut erat
kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu
peraturan manakala peraturan tersebut relah diundangkan.
2.
Pemahaman hukum
Pemahaman hukum dalam arti disini adalah
sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu
hukum tertentu. Dengan lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian
terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu,
tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang
kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak
disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan
tertulis yang mengatur sesuatu hal. Akan tetapi yang dilihat disini adalah
bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui
sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. Pemahaman hukum ini dapat
diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga
masyarakat. Bila demikian, hal ini tergantung pula bagaimanakah perumusan
pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan tersebut.
3.
Sikap hukum (legal attitude)
Sikap hukum adalah suatu kecenderungan
untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu
yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaiman terlihat
disini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat
dimasyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum
yang sesuai dengan niali-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga
masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
4.
Pola perilaku hukum (legal behavior)
Pola
perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini
dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.
Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat
dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.[18]
Terdapat
kaitan antara kesadaran hukum dan kebudayaan hukum. Keterkaitan tersebut dapat
dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek
kognitif dan perasaan yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan antara hukum dengan pola-pola
perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran kesadaran hukum lebih banyak
mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum
dengan perilaku manusia baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya
ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang berlaku
pada masyarakat. Sistem nilai-nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk
berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola berpikir yang menentukan
sikap mental manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan
untuk bertingkah laku, membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah.[19]
Berdasarkan
hasil wawancara peneliti dengan 10 orang remaja, di dapat hasil bahwa remaja
tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu di
faktor yang mempengaruhi yakni karena petugas kepolisian tidak berjaga di jalan
disaat hari Sabtu dan Minggu. Peneliti menganalis dan memberikan kesimpulan
bahwasanya remaja taat aturan terutama menggunakan helm standar nasional
Indonesia apabila ada petugas kepolisian yang berjaga di jalan, jika tidak ada
petugas kepolisian yang berjaga dijalan maka jelas remaja tidak akan patuh
dengan aturan penggunaan helm standar nasional Indonesia. Padahal remaja ini
telah mengetahui bahwa menggunakan helm ini wajib bagi pengendara sepeda motor
tidak terkecuali pada hari Sabtu dan Minggu. Kesadaran hukum remaja yang masih
kurang serta pemahaman hukum yang kurang yang mengakibatkan remaja tidak
menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu. Apabila
kedasaran hukum remaja tinggi maka ketaatan terhadap hukum itu akan tinggi,
sebaliknya kesadaran hukum remaja rendah maka ketaatan terhadap hukum itu
rendah. Ternyata dominan jawaban dari remaja mereka tidak menggunakan helm
standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu di akibatkan karena tidak
ada petugas kepolisian yang berjaga di jalan.
C. Upaya-upaya yang dilakukan Satuan
lalulitas Polres Gorontalo dalam meningkatkan kesadaran hukum remaja.
Berdasarkan
hasil wawancara peneliti dengan kepala unit patroli satuan lalulintas Polres Gorontalo,
bahwasanya satuan lalulintas Polres Gorontalo telah melakukan berbagai upaya
dalam meningkatkan kesadaran hukum remaja terkait penggunaan helm standar
nasional Indonesia. Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh satuan lalulintas
Polres Gorontalo diantaranya sebagai berikut
1. Melakukan
sosialisasi undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan
jalan di berbagai media. Baik media cetak maupun media eletronik
2.
Melakukan sosialisasi kesadaran hukum
kepada masyarakat di berbagai universitas maupun lembaga-lembaga lain yang
terkait.
3. Membuat
spanduk dan baliho yang berisikan himbauan menggunakan helm standar nasional
Indonesia
4.
Menyediakan suatu alat eletronik yang di
datangkan langsung dari Surabaya yang berfungsi memberika himbauan kepada
masyarakat agar patuh terhadap aturan hukumyang berlaku.
Inilah
bentuk-bentuk upaya yang telah dilakukan oleh satuan lalulintas Polres
Gorontalo dalam hal meningkatkan kesadaran hukum remaja untuk selalu
menggunakan helm standar nasional Indonesia setiap hari tanpa terkecuali.
Satuan lalulintas Polres Gorontalo memiliki suatu simbol ataupun moto yang
berbunyi “jadilah pelopor keselamatan berlalulintas dan budayakan keselamatan
sebagai kebutuhan”
Bab
IV
Penutup
A. Kesimpulan
Kesadaran hukum merupakan
suatu faktor penting dalam tegaknya suatu aturan. Masalah kepatuhan hukum atau
ketaatan terhadap hukum merupakan suatu unsur saja dari persolan yang lebih
luas yakni kesadaran hukum. Masalah nilai-nilai dalam hukum erat kaitannya
dengan kesadaran hukum. Hal itu karena kesadaran hukum merupakan suatu
penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki atau seharusnya
ada. Kesadaran hukum berkaitan pula dengan efektivitas hukum dan wibawa hukum.
Salah satu segi pembicaraan mengenai efektivitas hukum seringkali dikaitkan
dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat. Hukum merupakan aturan yang mengikat
yang harus ditaati oleh masyarakat. Dengan tingginya kesadaran hukum maka
kepatuhan terhadap hukum itu sendiri akan tinggi. Sebaliknya rendahnya
kesadaran hukum maka kepatuhan terhadap hukum itu pasti rendah. Remaja saat ini
kesadaran hukumnya masih sangat rendah sehingga kebanyakan remaja melanggar
aturan-aturan hukum khususnya mengenai penggunaan helm standar nasional
Indonesia pada hari sabtu dan Minggu. Remaja akan menaati aturan penggunaan
helm standar nasional Indonesia apabila ada petugas kepolisian yang berjaga di
jalan.
B. Saran
Dalam penegakan
maupun penerapaan hukum semestinya penegak hukum harus lebih meningkatkan
perhatian kepada hukum itu sendiri. Upaya yang dilakukan oleh satuan lalulintas
Polres Gorontalo memang sudah baik akan tetapi upaya itu belum maksimal.
Sehingga peneliti memberikan saran kepada pihak kepolisian khususnya satual
lalulintas Polres Gorontalo untuk melakukan penjagaan setiap hari di jalan agar
masyarakat patuh terhadap aturan hukum terutama penggunaan helm standar nasiona
Indonesia di hari sabtu dan Miinggu. Dengan dilakukannya usaha ini diharapkan
kesadaran hukum masyarakat akan meningkat dan mampu menciptakan masyarakat yang
sadar hukum sehingga penerapan hukum di
masyakarak akan maksimal.
[3] Fence M. Wantu, Idee Des Recht kepastian hukum, keadilan
dan kemamfaatan(implementasi dalam proses peradilan perdata), ( Yogyakarta
: Pustaka pelajar, 2011), hlm 3-4
[4] Soerjono soekanto, pokok-pokok sosiologi hukum, (Jakarta :
Rajawali press, 2010), hlm 169
[5] Saifullah, Refleksi sosiologi hukum, (Bandung : refika aditama, 2010) hlm
105-106
[6] Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan metode penelitian hukum,
(Malang : UMM Press, 2009) hlm 33-37
[7] Haryanto S.PD,www. Google.com. Belajarpsikologi.com/referensi
[8] www. Google.com.Blogsiputri.blogspot.com/2012/02/pengertian
remaja
[9] Undang-undang nomor 22 tahun
2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan
[10] www. Google.com, id. Wikipedia.org/wiki/helm
[11] Zainuddin Ali, Metode penelitian hukum, (Jakarta :
Sinar grafika, 2011) hlm 223
[12] ibid hlm 225
[13] Otje Salman dan Anthon F.
Susanto, beberapa aspek-aspek sosiologi
hukum,( Bandung :PT. Alumni, 2012), hlm 49
[14] Ibid, hlm 53-54
[15] Fence M. Wantu, Idee Des Recht, ( Yogyakartka : Pustaka
Pelajar, 2011), hlm 5
[17] Baharuddin Lopa, permasalahan pembinaan dan penegakan hukum
di Indonesia, dikutip oleh Dahlan
Thaib, teori dan hukum konstitusi, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2012) hlm 73
[18]
Otje Salman dan Anthon F.
Susanto beberapa aspek-aspek sosiologi
hukum,( Bandung :PT. Alumni, 2012), hlm 56-57