Minggu, 23 Agustus 2015

Skripsi Hubungan Dukungan Sosial Guru Dengan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental DI SLBN Kota Gorontalo

selamat malam dan ketemu lagi dengan saya ya, heheheh :)

malam-malam begini enaknya online sambil minum kopi, wah mantap bro :v tpi tdk hanya itu dalam postingan kali ini saya akan share sebuah Skripsi yang membahas mengenai anak yang mengalami Retardasi mental hubungannya dengan tenaga tenaga pendidik atau yang sering kita sebut guru, heheheh blog sya tidak hanya berkaitan dengan hukum tpi ad juga jurusan-jurusan lain atau keahlian di bidang lain.

Nah untuk mengetahui lebih lanjut tentang skripsi ini silahkan di download cekidot :D

http://www.mediafire.com/view/nj9pr1w57pqd466/SKRIPSI__Vicka_Wahyuni_Sikili_.pdf





Skripsi Implementasi Pasal 16 Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No 1 Tahun 2008 Mengenai Izin Usaha Perikanan Di Provinsi Gorontalo

selamat sore semua,


lama skali rasanya tidak melakukan update tentang artikel-artikel ilmiah. nah pada kesempatan kali ini saya akan share skirpsi sya hehehe :) semoga skripsi ini bisa membantu teman-teman skalian dalam hal penyusunan artikel ilmiah . silahkan di download di link berikut

http://www.mediafire.com/view/rt87lj8sh99lk96/SKRIPSI_KARIM_R._TOITI.pdf


Senin, 09 Februari 2015

BAB II Kesadaran Hukum Remaja terkait penggunaan Helm Pada hari sabtu dan minggu


Bab II
Landasan Teori
A.  Kesadaran hukum
Kesadaran hukum merupakan suatu keyakinan yang ditimbul dalam diri individu maupun masyarakat sehingga individu maupun masyarakat tersebut menaati aturan-aturan yang telah dibuat. Kesadaran hukum tidak terlepas dari nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Jika individu maupun masyarakat tersebut memiliki nilai moral yang baik, maka kesadaran hukum individu maupun masyarakat itu akan terbangun dengan baik. Pembentukan kesadaran hukum bagi individu maupun masyarakat, harus dilakukan sejak dini agar supaya kesadaran hukum itu tertanam didalam diri setiap individu maupun masyarakat tersebut.
Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum. Di antara sekian banyaknya pendapat, terdapat suatu rumusan yang menyatakan, bahwa sumber satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah kesadaran hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan  hukum dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal daripada kesadaran hukum masyarakat.[1]
Perubahan besar-besaran terjadi atas struktur sosial dan sistem sosial bangsa ini suatu perubahan fundamental yang mencabut sampai akar-akarnya struktur dan sistem kolonialisme di Indonesia.[2] Perubahan ini merupakan perwujudan dalam hal memperbaiki sistem hukum di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diatur oleh undang-undang tersebut. 
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025, menetapkan arah pembangunan materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang salah satunya adalah peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam berbagai proses pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap anggota masyarakat manyadari dan manghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Akibatnya akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa memiliki dan taat hukum.[3]
Menurut Soerjono Soekanto untuk mengetahui kesadaran hukum masyarakat di dalam proses perubahan yang menjadi ciri dari pembangunan, dengan demikian maka pokok-pokok yang harus diteliti adalah :
1.    Proses hukum, yaitu bagaimana masyarakat bertindak di dalam kehidupan hukum dengan mengambil tindakan-tindakan hukum yang banyak dilakukan sebagai patokan
2.    Alasan dan latar belakang proses hukum tersebut
3.    Apakah proses hukum tersebut selaras atau tidak sesuai dengan peraturan-peraturan tertulis yang berlaku
4.    Mengapa terdapat keselaran atau bahkan ketidaksesuaian antara proses hukum dengan peraturan-peraturan tertulis yang berlaku[4]
Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek penegakan hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang kesadaran dan kepatuhan hukum di tahun di tahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen dalam komunikasi/hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan berpolitik. Sejak awal tidak ada kesepakatan yang jelas tentang konsepsi kesadaran hukum. Juga dipertanyakan apakah kesadaran hukum sama dengan perasaan hukum. J.J. Von Schmid memberikan ulasan tentang perasaan hukum, yaitu bahwa penelitian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat. Sedangkan kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya melalui penafsiran secara ilmiah. Paul Scholten menyebutkan kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada, sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Munculnya kesadaran hukum didorong oleh sejauh mana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh : indoctrination, habituation, utility, dan group indentification. Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum. Soerjono Soekanto menyatakan terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu : pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor hukumnya sendiri (UU), faktor penegakan hukum, faktor sarana/fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor kebudayaan.[5]
Masalah yang timbul kemudian berkaitan dengan bekerjanya hukum itu adalah pertanyaan mengenai apakah hukum yang dijalankan di dalam masyarakat itu benar-benar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan hukum tersebut. Pertanyaan demikian, purbacaraka membedakan tiga hal tentang berlakunya hukum, yaitu hukum berlaku neraca filosofis, secara yuridis dan sosiologis. Berlaku secara filosofis, bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, yakni sebagai nilai positif yang tertinggi. Sedangkan hukum berlaku secara yuridis, terdapat anggapan, bahwa apabila penetuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen). Atau terbentuk menurut cara yang ditetapkan (W.Zevenbergen). Bagi studi hukum dalam masyarakat, maka yang terpenting adalah hal berlakunya hukum secara sosiologis (efektivitas hukum). Studi efektivitas hukum adalah suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan realitas hukum dengan ideal hukum, yaitu terdapat jenjang antara hukum dalam tindakan ( law in action) dengan hukum dalam teori ( law in teory). Roscoe Pound membuat perbedaan yang kemudian menjadi sangat terkenal di dalam ilmu hukum, yaitu antara law in the books dan law in actions. Pembedaan ini mencakup persoalan-persoalan antara lain, apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya. Studi efektivitas hukum, adalah menelaah apakah hukum itu berlaku, dan untuk mengetahui berlakunya hukum tersebut, Black  menganjurkan agar membandingkan antara ideal hukum, yakni kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim, dengan realitas hukum. Soerjono Soekanto berkaitan dengan realiatas hukum im menyatakan bahwa apabila seseorang mengatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu, sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Kepatuhan seseorang terhadap hukum seringkali dikaitkan dengan persoalan-persoalan di seputar kesadaran hukum seseorang tersebut. Dengan lain perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo memberikann pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran masyarakat untuk menerima dan menjalankan hukum sesuai dengan ratio pembentukannya. Mertokusumo memberikan pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau perbuat atau seyogyanya tidak dilakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Kesadaran hukum seringkali juga dikaitkan dengan efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis, yaitu kesadaran hukum yang tinggi menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan kesadaran hukum yang lemah mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap hukum.[6]
B.  Pengertian Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Pada masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon ( dalam Monk, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak memiliki lagi status anak. Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pengertian remaja menurut Zakiah Darajat adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Santrock bahwa adolensence diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.[7]
Menurut Papalia dan Olds masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 tahun atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Menurut  Adams dan Gullota masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Ciri masa remaja terjadi beberapa perubahan diantaranya :
1.    Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm dan stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab.
2.    Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.    Perubahan dalam hal yang menarik bagi diriya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4.    Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5.    Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam mengahadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.[8]
C.  Pengertian Helm standar nasional Indonesia
Helm adalah sesuatu yang digunakan di kepala oleh pengendara kenderaan roda dua (sepeda motor) untuk melindungi kepala dari benturan keras, benda tajam maupun benda tumpul yang dapat merusak organ kepala. Penggunaan helm merupakan suatu perangkat kenderaan sepeda motor yang wajib di gunakan ketika mengendarai sepeda motor. Karena dengan menggunakan helm, maka pengendara kenderaan roda dua (sepeda motor) dapat terlindungi bagian kepalanya dari segala benturan yang terjadi ketika sedang mengendarai sepeda motor. Dalam ketentuan pasal 57 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu intas dan angkutan jalan di jelaskan bahwa dalam ayat 1 dan ayat 2 berbunyi sebagai berikut :
1.    Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
2.    Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.[9]
Dalam bahasa Belanda helm di kenal juga dengan helm yang mempunyai pengertian adalah bentuk perlindungan tubuh yang dikenakan di kepala dan biasanya dibuat dari metal atau bahan keras lainnya seperti kevlar, serat resin, atau plastik. Helm biasanya digunakan sebagai perlindungan kepala untuk berbagai aktivitas pertempuran (militer), atau aktivitas sipil seperti olahraga, pertambangan, atau berkendara. Helm dapat memberi perlindungan tambahan pada sebagian dari kepala ( bergantung pada strukturnya) dari benda jatuh atau berkecepatan tinggi. Dibeberapa negara, helm wajib digunakan bagi pengendara sepeda motor, bahkan ada yang mewajibkannya bagi pengendara sepeda tak bermotor. Di Inggris hanya penganut Sikh yang diperbolehkan tidak memakai helm karena harus memakai turban. Ada beberapa jenis-jenis dari helm diantaranya sebagai berikut :
1.    Helm perang
Pada awalnya helm digunakan sebagai bagian dari baju zirah peradaban Yunani kuno, Romawi klasik, sepanjang Zaman pertengahan, sampai akhir abad 17 menyaksikan penggunaan helm secara luas di sepanjang Eropa sampai Jepang. Bisa dikatakan tidak ada penggunaan lain helm selain keperluan perang. Helm melindungi kepala dari tebasan senjata lawan, datangnya panah, atau bahkan peluru berkecepatan rendah ( dari senapan awal seperti arquebus). Penggunaan helm menurun sejak 1670 ketika efisiensi dan kecepatan peluru senapan meningkat pesat. Pada abad 18 sama sekali tak ada infantri yang menggunakannya lagi. Era Napoleon menjadi pengukuhan penggunaan helm bagi prajurit kavaleri. Penggunaan artileri beratdi perang dunia I menunjukkan perlunya menggunakan helm bagi prajurit biasa untuk mengurangi korban karena serpihan bom atau schrapnel. Pada perang dunia ke II dan saat inipun demi keperluan yang sama helm masih menjadi perlengkapan standar bagi prajurit.
2.    Helm sepeda motor
       Helm yang digunakan untuk melindungi kepala bila terjadi kecelakaan lalu lintas pada para pengguna sepeda motor, pertama kali dicetuskan untuk diwajibkan untuk digunakan di Indonesia oleh kepala kepolisian RI Hoegeng, tetapi mendapat penolakan yang keras pada waktu itu, kemudian ditetapkan secara resmi di dalam undang-undang nomor 14 tahun 1992. Helm motor dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu, helm seperuh kepala (half face), tiga perempat (open face) dan penuh (full face). Helm yang memberikan perlindungan yang paling baik adalah helm penuh karena seluruh kepala dilindungi dari benturan.



3.    Helm sepeda
       Helm sepeda adalah helm yang digunakan oleh pengguna sepeda, didesain berbeda dari helm sepeda motor karena kecepatan sepeda hanya sekitar 15 km/jam. Walaupun di Indonesia belum diwajibkan untuk menggunakan helm sepeda tetapi sudah banyak digunakan oleh masyarakat dalam kegiatan bersepeda santai dihari libur, tetapi pada olahraga balapan sepeda atau kejuaraan sepeda gunung helm sudah diwajibkan.
4.    Helm proyek
       Helm proyek adalah helm yang direncanakan untuk melindungi jatuhan material pada proyek pembangunan rumah, gedung ataupun juga digunakan di daerah pertambangan.
Inti mekanisme perlindungan helm adalah penyerapan energi momentum yang diterima keseluruh bagian helm. Oleh karenanya meski terdapat berbagai bentuk helm dan strukturnya mempertimbangkan kemampuannya menyerap energi tabrakan. Ukuran dan beratnya juga merupakan pertimbangan lain sebab ukuran yang lebih besar juga meningkatkan risiko terhadap pengguna. Selain itu pula helm juga memiliki beberapa lapisan yakni :
1.    Lapisan luar yang keras (hard outer shell)
            Didesain untuk dapat pecah jika mengalami benturan untuk mengurangi dampak tekanan sebelum sampai ke kepala. Lapisan ini biasanya terbuat dari bahan polycarbonate
2.    Lapisan dalam yang tebal (inside shell or liner)
       Di sebelah dalam dari lapisan luar adalah lapisan yang sama pentingnya untuk dampak pelapis penyangga. Biasanya dibuat dari bahan-bahan polystyrene(stryrofoam). Lapisan tebal ini memberikan bantalan yang berfungsi menahan goncangan sewaktu helm terbentur benda keras sementara kepala masih bergerak sewaktu ada tabrakan yang membenturkan bagian kepala dengan benda keras, lapisan keras luar dan lapisan dalam helm menyebarkan tekanan keseluruh helm. Helm tersebut mencegah adanya benturan yang dapat mematahkan tengkorak. Benturan yang kuat memberi kemungkinan terhadap pecahnya helm dan membuat lapisan dalam rusak. Proses ini memberikan waktu ekstra, reduksi tekanan dan jarak kepada kepala/otak untuk lebih teredam. Ketika lapisan dalam terkoyak, dapat memberikan hambatan yang cukup terhadap menghambat kepala/otak dengan berhenti secara lebih perlahan/lembut, dibanding proses benturan keras yang terjadi terhadap kepala/otak tanpa menggunakan helm.
3.    Lapisan dalam yang lunak (comfort padding)
       Merupakan bagian dalam yang terdiri dari bahan lunak dan kain untuk menempatkan kepala secara pas dan tepat pada rongga helm. Bagian terpenting lainnya dalam helm adalah tali pengikat helm. Helm tidak akan berfungsi dengan baik kalau tidak dilengkapi atau tidak mengikatkan tali pengikatnya.[10]
      
      
      




Bab III
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data merupakan hal penting dalam mengumpulkan bahan materi penulisan penelitian ini. Dalam penulisan penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut.
A.  Tipe penelitian
Tipe penelitian yang dipakai dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris penelitian yang mengacu kepada kenyataan hukum dalam pelaksanaan penggunaan helm bagi masyarakat khususnya remaja pada hari sabtu dan minggu sebagai objek penelitian. Penulisan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu melalui penelitian terhadap kesadaran hukum remaja terkait kurangnya remaja yang menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu.
B.  Sifat penelitian
          Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum.[11] Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan menguraikan hal-hal tentang tingkat kesadaran hukum masyarakat khususnya remaja.
C.  Data penelitian
          Data penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini terdiri atas:
1.      Data sekunder
a.       Bahan hukum primer
       Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundan-undangan yang terkait dengan penelitian ini (undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan)
b.      Bahan hukum sekunder
       Yaitu buku-buku, maupun tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan penelitian ini
c.       Bahan hukum tertier
       Bahan hukum tertier, yaitu berupa petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, suarat kabar dan sebagainya.
2.      Data primer
        Data primer yaitu berupa data hasil wawancara dengan kepala satlantas Polres Gorontalo dan dengan remaja di kabupaten Gorontalo.
D.  Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tempat peneliti melakukan penelitian yakni di Polres Gorontalo kabupaten Gorontalo dan di SMA negeri 2 Limboto Kabupaten Gorontalo. Lokasi ini di ambil karena mudah dijangkau dan mempermudah peneliti mengambil data.
E.  Teknik pengumpulan data
Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah dengan cara :
1.        Cara pengumpulan data sekunder untuk pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), studi dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.
2.        Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara. Wawancara yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan, yaitu orang yang ahli atau berwenang dengan masalah tersebut.[12] Adapun informan yang akan diwawancarai oleh peneliti adalah kepala dan staf satlantas Polres Gorontalo dan dengan remaja itu sendiri sebagai pelaku dari kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat khususnya remaja. Oleh karena itu, peneliti menyusun pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara sehingga objek permasalahan dapat terungkap melalui jawaban informan secara terbuka dan terarah, dan hasil wawancara langsung ditulis oleh peneliti.

F.   Teknik analisis data
          Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan deskriptif analitis, maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data sekunder dan data primer. Deskriptif itu, meliputi isi dan makna kesadaran hukum dalam masyarakat khususnya kesadaran hukum remaja.



Bab IV
Pembahasan
A.  Kesadaran hukum masyarakat khususnya remaja terhadap penggunaan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu
          Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum posistif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewutszijn yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan salah satu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa keadaran hukum seringkali dikaitkan dengan penaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Masalah kesadaran hukum, termasuk pula di dalam ruang lingkup persoalan hukum dan nilai-nilai sosial. Apabila ditinjau dari teori-teori modern tentang hukum dan pendapat para ahli hukum tentang sifat mengikat dari hukum, timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan yang timbul, adalah tentang dasar keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan daripada dipatuhinya hukum tersebut. Terdapat suatu pendapat yang  menyatakan bahwa mengikatnya hukum terutama tergantung pada keyakinan seseorang.[13]
          Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum yakni sebagai berikut :
1.      Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarka diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2.      Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intriksinya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada buruk-baiknya interaksi tadi. Walauupun seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai objek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi.
3.      Internalization pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
4.      Kepentingan-kepentingan pada warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada ( Soerjono Soekanto)[14].
Dilain pihak dapat tidaknya aturan yang telah dibuat dapat ditegakkan menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yakni sebagai berikut :
1.        Faktor hukumnya sendiri (termasuk Undang-undang)
2.        Faktor penegak hukum
3.        Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4.        Faktor masyarakat, yakni masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan
5.        Faktor kebudayaan, yakni sebagaihasil karya, cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[15]
Sedangkan menurut L.W. Friedman beliau mengatakan bahwa pembangunan hukum meliputi tiga komponen utama, yakni materi (substansi), kelembagaan (struktur), dan budaya (kultur) hukum.[16]
Menurut Baharuddin Lopa ada tiga komponen utama untuk dimungkinkannya ditegakkannya hukum dan keadilan dimasyarakat yakni sebagai berikut :
1.    Diperluannya adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
2.    Adanya aparatur penegak hukum yang profesional dan memiliki integritas moral yang terpuji (faktor keteladanan)
3.    Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.[17]
Melihat kenyataan di kehidupan sehari-hari khususnya di kabupaten Gorontalo, masih banyak terdapat masyarakat khususnya remaja yang tidak mematuhi aturan dalam hal menggunakan helm standar nasional Indonesia disaat berkendera terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Ini disebabkan kurangnya kesadaran hukum remaja, sehingga banyak remaja yang tidak patuh terhadap aturan-aturan hukum khususnya penggunaan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan kepala unit patroli satuan lalu lintas polres Gorontalo Inspektur Polisi Dua( IPDA) A.W Tambipi, beliau mengatakan bahwa penegakan hukum maupun penerapan hukum lalulintas khususnya penggunaan helm standar nasional Indonesia telah dilakukan dengan maksimal oleh pihak kepolisian, hanya saja kesadaran hukum remaja itu sendiri yang masih kurang sehingga banyak remaja yang tidak taat aturan, terutama banyak remaja yang tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu.
Beliau juga mengatakan bahwa kebanyakan remaja saat ini mau menaati aturan jika ada petugas kepolisian yang berjaga di jalan raya. Permasalahan yang muncul kemudian apakah petugas kepolisian harus berjaga 24 jam di jalan agar remaja taat terhadap aturan? Tentu tidak. Yang diperlukan saat ini hanyalah kesadaran hukum remaja tersebut harus terus ditingkatkan, itu dimulai dari dalam diri individu itu sendiri. Pihak kepolisian hanya berupaya melakukan tugasnya dalam menegakkan aturan, karena aturan ini dibuat untuk diataati oleh semua pihak
Apabila indikator-indikator dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat keasadaran hukumnya rendah, maka derajat ketaatan hukum juga rendah. Dapat ditarik kesimpulan bahwanya kesadaran hukum remaja terhadap penggunaan helm standar nasional Indonesia pada hari Sabtu dan Minggu masih sangat jauh dari harapan. Remaja saat ini menaati aturan jika ada petugas kepolisian yang berjaga dijalan. Jika tidak ada petugas kepolisian maka remaja tidak akan menaati aturan lalulintas. Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan secara terus-menerus, jika dibiarkan ini akan membudaya dan menjadi kebiasaan buruk remaja yang akan terbawa ke masa yang akan datang. Tentunya dengan menciptakan kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta hukum yang baik guna menjadikan negara Indonesia negara hukum yang seutuhnya tidak hanya hukum didalam buku( law in book) tetapi hukum dalam tindakan (law in action).
B.  Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum remaja terkait kurangnya remaja yang menggunakan helm standar nasiona Indonesia di hari Sabtu dan Minggu
          Menurut Soerjono Soekanto terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu :
1.      Pengetahuan hukum
        Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut relah diundangkan.
2.      Pemahaman hukum
        Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur sesuatu hal. Akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat. Bila demikian, hal ini tergantung pula bagaimanakah perumusan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan tersebut.


3.      Sikap hukum (legal attitude)
        Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaiman terlihat disini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat dimasyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan niali-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
4.      Pola perilaku hukum (legal behavior)
        Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.[18]
        Terdapat kaitan antara kesadaran hukum dan kebudayaan hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum  dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Sistem nilai-nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola berpikir yang menentukan sikap mental manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah.[19]
        Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 10 orang remaja, di dapat hasil bahwa remaja tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu di faktor yang mempengaruhi yakni karena petugas kepolisian tidak berjaga di jalan disaat hari Sabtu dan Minggu. Peneliti menganalis dan memberikan kesimpulan bahwasanya remaja taat aturan terutama menggunakan helm standar nasional Indonesia apabila ada petugas kepolisian yang berjaga di jalan, jika tidak ada petugas kepolisian yang berjaga dijalan maka jelas remaja tidak akan patuh dengan aturan penggunaan helm standar nasional Indonesia. Padahal remaja ini telah mengetahui bahwa menggunakan helm ini wajib bagi pengendara sepeda motor tidak terkecuali pada hari Sabtu dan Minggu. Kesadaran hukum remaja yang masih kurang serta pemahaman hukum yang kurang yang mengakibatkan remaja tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu. Apabila kedasaran hukum remaja tinggi maka ketaatan terhadap hukum itu akan tinggi, sebaliknya kesadaran hukum remaja rendah maka ketaatan terhadap hukum itu rendah. Ternyata dominan jawaban dari remaja mereka tidak menggunakan helm standar nasional Indonesia di hari Sabtu dan Minggu di akibatkan karena tidak ada petugas kepolisian yang berjaga di jalan.
C.  Upaya-upaya yang dilakukan Satuan lalulitas Polres Gorontalo dalam meningkatkan kesadaran hukum remaja.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kepala unit patroli satuan lalulintas Polres Gorontalo, bahwasanya satuan lalulintas Polres Gorontalo telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kesadaran hukum remaja terkait penggunaan helm standar nasional Indonesia. Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh satuan lalulintas Polres Gorontalo diantaranya sebagai berikut
1.    Melakukan sosialisasi undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan di berbagai media. Baik media cetak maupun media eletronik
2.    Melakukan sosialisasi kesadaran hukum kepada masyarakat di berbagai universitas maupun lembaga-lembaga lain yang terkait.
3.    Membuat spanduk dan baliho yang berisikan himbauan menggunakan helm standar nasional Indonesia
4.    Menyediakan suatu alat eletronik yang di datangkan langsung dari Surabaya yang berfungsi memberika himbauan kepada masyarakat agar patuh terhadap aturan hukumyang berlaku.
Inilah bentuk-bentuk upaya yang telah dilakukan oleh satuan lalulintas Polres Gorontalo dalam hal meningkatkan kesadaran hukum remaja untuk selalu menggunakan helm standar nasional Indonesia setiap hari tanpa terkecuali. Satuan lalulintas Polres Gorontalo memiliki suatu simbol ataupun moto yang berbunyi “jadilah pelopor keselamatan berlalulintas dan budayakan keselamatan sebagai kebutuhan”



Bab IV
Penutup
A.  Kesimpulan
              Kesadaran hukum merupakan suatu faktor penting dalam tegaknya suatu aturan. Masalah kepatuhan hukum atau ketaatan terhadap hukum merupakan suatu unsur saja dari persolan yang lebih luas yakni kesadaran hukum. Masalah nilai-nilai dalam hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum. Hal itu karena kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki atau seharusnya ada. Kesadaran hukum berkaitan pula dengan efektivitas hukum dan wibawa hukum. Salah satu segi pembicaraan mengenai efektivitas hukum seringkali dikaitkan dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat. Hukum merupakan aturan yang mengikat yang harus ditaati oleh masyarakat. Dengan tingginya kesadaran hukum maka kepatuhan terhadap hukum itu sendiri akan tinggi. Sebaliknya rendahnya kesadaran hukum maka kepatuhan terhadap hukum itu pasti rendah. Remaja saat ini kesadaran hukumnya masih sangat rendah sehingga kebanyakan remaja melanggar aturan-aturan hukum khususnya mengenai penggunaan helm standar nasional Indonesia pada hari sabtu dan Minggu. Remaja akan menaati aturan penggunaan helm standar nasional Indonesia apabila ada petugas kepolisian yang berjaga di jalan.




B.  Saran
              Dalam penegakan maupun penerapaan hukum semestinya penegak hukum harus lebih meningkatkan perhatian kepada hukum itu sendiri. Upaya yang dilakukan oleh satuan lalulintas Polres Gorontalo memang sudah baik akan tetapi upaya itu belum maksimal. Sehingga peneliti memberikan saran kepada pihak kepolisian khususnya satual lalulintas Polres Gorontalo untuk melakukan penjagaan setiap hari di jalan agar masyarakat patuh terhadap aturan hukum terutama penggunaan helm standar nasiona Indonesia di hari sabtu dan Miinggu. Dengan dilakukannya usaha ini diharapkan kesadaran hukum masyarakat akan meningkat dan mampu menciptakan masyarakat yang sadar  hukum sehingga penerapan hukum di masyakarak akan maksimal.




[1] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, ( Jakarta : Rajawali Press, 2010), hlm 167
[2] Sudjono Dirdjosisworo, sosiologi hukum, ( Jakarta : Rajawali Press, 1983), hlm 83
[3] Fence M. Wantu, Idee Des Recht kepastian hukum, keadilan dan kemamfaatan(implementasi dalam proses peradilan perdata), ( Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2011), hlm 3-4
[4] Soerjono soekanto, pokok-pokok sosiologi hukum, (Jakarta : Rajawali press, 2010), hlm 169
[5] Saifullah, Refleksi sosiologi hukum, (Bandung : refika aditama, 2010) hlm 105-106
[6] Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan metode penelitian hukum, (Malang : UMM Press, 2009) hlm 33-37
[7] Haryanto S.PD,www. Google.com. Belajarpsikologi.com/referensi
[8] www. Google.com.Blogsiputri.blogspot.com/2012/02/pengertian remaja
[9] Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan
[10] www. Google.com, id. Wikipedia.org/wiki/helm
[11] Zainuddin Ali, Metode penelitian hukum, (Jakarta : Sinar grafika, 2011) hlm 223
[12] ibid hlm 225
[13] Otje Salman dan Anthon F. Susanto, beberapa aspek-aspek sosiologi hukum,( Bandung :PT. Alumni, 2012), hlm 49
[14] Ibid, hlm 53-54
[15] Fence M. Wantu, Idee Des Recht, ( Yogyakartka : Pustaka Pelajar, 2011), hlm 5
[16] ibid hlm 1
[17] Baharuddin Lopa, permasalahan pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia, dikutip oleh   Dahlan Thaib, teori  dan hukum konstitusi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012) hlm 73
[18] Otje Salman dan Anthon F. Susanto beberapa aspek-aspek sosiologi hukum,( Bandung :PT. Alumni, 2012),  hlm 56-57
[19] ibid hlm  57